IPW Kecam Kejagung, Soroti Dugaan Intimidasi terhadap Media

Jakarta — Langkah Kejaksaan Agung yang menetapkan Direktur Pemberitaan JakTV dan dua orang pengacara sebagai tersangka kasus dugaan menghalangi penyidikan (obstruction of justice) dalam perkara korupsi komoditas timah dan impor gula, menuai kritik tajam dari Indonesia Police Watch (IPW), rabu (23/04/2025).

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyebut penetapan tersebut sebagai bentuk represi terhadap kebebasan pers dan upaya membungkam kebebasan berekspresi dalam negara demokratis. Ia menilai keputusan itu tidak hanya mencederai prinsip hukum, tetapi juga melanggar ketentuan konstitusi serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurut pernyataan Kejagung yang disampaikan Kapuspenkum Harli Siregar, ketiga tersangka—dua advokat berinisial MS dan JS, serta seorang jurnalis TB—dilaporkan terlibat dalam permufakatan jahat untuk menghambat jalannya penyidikan kasus korupsi. Aktivitas yang disorot termasuk pemberitaan yang dinilai menyudutkan institusi kejaksaan, penyelenggaraan forum publik seperti seminar dan podcast, hingga pembiayaan aksi demonstrasi dengan nominal mencapai Rp478,5 juta.

Namun IPW menilai tudingan tersebut tidak berdasar dan merupakan upaya berlebihan. Sugeng menegaskan bahwa segala bentuk kritik, diskusi publik, hingga pemberitaan di media merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.

Ia mengutip Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU Pers, yang menegaskan kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan bahwa produk jurnalistik tidak sepatutnya diproses secara pidana. Apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan, mekanisme penyelesaiannya seharusnya melalui Dewan Pers.

“Pers yang bebas dan bertanggung jawab adalah tiang demokrasi. Ketidaksepakatan terhadap pemberitaan harus disalurkan melalui jalur hukum yang sesuai, bukan dengan kriminalisasi,” tegas Sugeng.

IPW juga menyoroti pentingnya hak warga negara untuk menyuarakan pendapat, termasuk kritik terhadap lembaga penegak hukum. Menurutnya, perbedaan pandangan dan narasi kritis merupakan bagian dari kebebasan akademik dan tanggung jawab intelektual yang tidak boleh dibungkam dengan tindakan hukum yang represif.

Sugeng menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa langkah Kejaksaan Agung berpotensi melanggar Pasal 28 dan 28E UUD 1945 serta Undang-Undang HAM. “Setiap bentuk pembungkaman hak-hak dasar adalah pelanggaran terhadap martabat manusia,” ujarnya.(tim-red)